Kota Gorontalo – Khutbah Idul Fitri: Idul Fitri Sebagai Momen Meningkatkan Ketahanan Sosial
Khutbah Pertama
Para Jamaah shalat Idul Fitri yang dimuliakan Allah Swt
Di hari kemenangan yang berbahagia ini, marilah kita meningkatkan ketakwaan kepada Allah Swt. dengan melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Wasiat takwa ini saya sampaikan sebelum berkhutbah dengan tema khusus yakni, “Hari Raya sebagai Momen Penguatan Ketahanan Sosial.” Wasiat takwa merupakan pengingat kita sebagai umat muslim, karena sesungguhnya tidak ada keunggulan apapun yang layak dibanggakan di sisi Allah Swt, kecuali ketakwaan kita sebagai seorang hamba.
Hadirin yang dirahmati Allah Swt
Selama satu bulan penuh, kita menjalankan perintah Allah Swt, yakni berpuasa menjaga diri dari segala godaan dan hal-hal yang membatalkannya. Puasa yang menjadi ibadah syarat akan nilai vertikal dan horizontal ini memang sudah selesai. Namun, semangat untuk menjaga serta meningkatkan kualitas iman dan Islam tetap harus dilanjutkan. Saleh secara ritual dan sosial adalah kewajiban bagi kita yang mestinya kita pupuk terus-menerus.
Di hari yang penuh dengan kebahagiaan ini, mari kita perhatikan Firman Allah Swt. dalam QS. Yunus: 58,
“Katakanlah (Nabi Muhammad), “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya itu, hendaklah mereka bergembira. Itu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan.”
Dalam Ibnu Asyur dalam kitab tafsir at-Tahrir wa atTanwir menyampaikan bahwa para mufassir memaknai karunia Allah dan rahmat-Nya yang dimaksud dalam ayat ini adalah Al-Qur’an dan para ahli Al-Qur’an. Pendapat Ibnu Asyur ini juga diabadikan oleh Jalaluddin As-Suyuthi dalam kitab tafsirnya Durrul Mantsur. As-Suyuthi menyajikan beberapa riwayat, adapun pendapat lain yang dimaksud ayat tersebut bukan hanya berbahagia atas karunia Al-Qur’an, tetapi juga karena hadirnya agama Islam.
Ayat di atas menunjukkan bahwa nikmat Islam dan karunia Al-Qur’an adalah penuntun dan jalan kehidupan yang akan membawa kepada kegembiraan hakiki. Karunia dan rahmat ini jauh lebih baik daripada hal apapun yang dikumpulkan manusia selama di dunia.
Hadirin yang berbahagia
Berpegang pada petunjuk Al-Qur’an, sesungguhnya sesama muslim adalah saudara. Allah Swt. berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah kedua saudaramu (yang bertikai) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu dirahmati.” (QS. AlHujurat [49]:10).
Ibnu Asyur dalam kitab tafsirnya menekankan bahwa ayat ini menjadi isyarat yang sangat kuat betapa pentingnya menjaga persaudaraan sesama umat mukmin. Ia juga mencantumkan beberapa hadis yang mendukung ungkapannya ini, misalnya hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim sebagai berikut:
“Seorang muslim itu adalah saudara bagi muslim yang lain, maka tidak boleh menzhaliminya, menelantarkannya, mendustainya dan menghinakannya. Seseorang telah dikatakan berbuat jahat jika ia menghina saudaranya sesama muslim. (HR. Muslim)
Melalui ayat dan hadis tadi, momen hari raya idul fitri adalah momen yang sangat tepat untuk menguatkan ketahanan sosial. Ketahanan sosial mudahnya adalah kemampuan suatu komunitas atau masyarakat untuk mengelola suatu konflik dan mencari solusi untuk menyelesaikannya. Dalam konteks bermasyarakat, konflik apapun bisa saja terjadi baik dari bidang ekonomi, politik, kesalahpahaman informasi atau karena hal-hal lainnya. Di sini, momen saling bertemu dengan saling memaafkan menjadi modal awal untuk memulai kehidupan masa depan yang lebih harmoni.
Status umat muslim sebagai saudara adalah modal awal untuk memudahkan penyelesaian suatu konflik. Pencarian solusi yang tidak berpijak pada keraguan dan prasangka buruk menjadi landasan bahwa umat muslim semakin kuat ketahanan sosialnya. Berlandaskan dalil hadis di atas, menjaga persaudaraan yang dilakukan oleh sesama umat muslim bukan hanya aktivitas realitas sosial belaka melainkan ada nilai-nilai profetiknya. Artinya, apapun yang dilakukan oleh umat muslim untuk kebaikan sesama sudah dihitung sebagai ibadah.
Apalagi, momen idul fitri juga tidak lepas dari salah satu ibadah wajib yang bernilai sosial tinggi yakni zakat. Ibadah ini menjadi sarana sosial yang berguna untuk mengangkat derajat dan kualitas hidup orang-orang yang lemah. Orang-orang yang lemah dan membutuhkan itu terhimpun dalam daftar pihak-pihak yang berhak menerima zakat, seperti fakir, miskin, amil (pengurus zakat), muallaf, hamba sahaya, orang yang terlilit hutang bukan karena maksiat, orang yang berjuang di jalan Allah, dan orang yang sedang menempuh perjalanan untuk ketaatan kepada Allah tetapi kehabisan biaya.
Hadirin yang berbahagia
Ketahanan sosial yang berbasis keimanan dalam masyarakat muslim ini berperan penting dalam konteks nasional. Memang dalam pelaksanaannya, ketahanan nasional ini dimulai dari komunitas terkecil yakni dari keluarga, berkembang menjadi warga dalam satu kampung, kemudian di lingkup kota, provinsi hingga negara.
Melihat ketahanan sosial berarti melihat bangunan yang tercipta secara organik dari setiap masyarakat. Dalam konteks ini, kita perlu melihat bagiamana Ibnu Khaldun, bapak sosiologi yang menyebut bahwa manusia merupakan makhluk yang beradab dan memiliki insting untuk memajukan peradaban. Ilmuan muslim ini menguraikan penjelasan sosiologis dalam bingkai Qur’ani.
Ibnu Khaldun mengambil hikmah dari QS. Al-Ahqaf [46] ayat 15 sebagai berikut,
“Kami wasiatkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandung sampai menyapihnya itu selama tiga puluh bulan. Sehingga, apabila telah dewasa dan umurnya mencapai empat puluh tahun,…”
Hadirin Jamaah Shalat Idul Fitri yang dimuliakan Allah
Ayat ini menyebut kehidupan manusia yang mencapai 40 tahun. Dalam pandangan Ibnu Khaldun, umur 40 tahun adalah umur matang seseorang dan sebagai standar usia per satu generasi. Sementara dia memiliki hipotesis bahwa masyarakat akan mengulangi siklus peradaban, dengan tiga generasi. Generasi pertama adalah generasi pendiri, generasi kedua adalah generasi pengembang serta penikmat, dan generasi ketiga adalah generasi lalai yang meruntuhkan. Jika satu generasi berumur 40 tahun, maka tiga generasi berarti 120 tahun.
Dalam kitab Muqaddimah Ibnu Khaldun, ia menyebut bahwa “Biasanya suatu kerajaan (pemerintahan) tidak dapat melampaui umur tersebut (120 tahun). Hanya saja memang terkadang ada kurang lebihnya, jika tidak ada gangguan lain seperti serangan bangsa lain”.
Hipotesis Ibnu Khaldun atas tiga generasi tadi sangat penting bagi kita. Ia tidak hendak meramalkan, tetapi melihat gejala sosial sebagai peringatan. Dalam konteks ketahanan sosial, kita sebagai saudara sesama muslim memiliki peran penting dalam menguatkan tatanan kehidupan sosial masyarakat. Inilah yang akan berdampak pada maju mundurnya peradaban suatu bangsa dan negara.
Demikianlah khutbah Idul Fitri hari ini, melalui momen bahagia ini kita saling menguatkan ketahanan sosial, dan melalui ketahanan ini kita menjadi bangsa yang peka akan konflik serta mudah menyelesaikannya. Hal inilah yang akan menghindarkan kita dari runtunya peradaban.
Khutbah Kedua
Kota Gorontalo – Khutbah Idul Fitri: Idul Fitri Sebagai Momen Meningkatkan Ketahanan Sosial