Kota Gorontalo – Khutbah Idul Fitri: Lewat Idul Fitri, Mari Kembali Mempererat Kesatuan Bangsa
Khutbah Pertama
Kaum Muslimin sidang jamaah shalat Idul Fitri yang berbahagia.!
Syukur Alhamdulillah, pagi ini kita masih diberikan kesempatan untuk merayakan Idul Fitri di tahun ini, setelah kurang lebih satu bulan penuh kita berpuasa sembari menahan hawa nafsu dari segala hal yang dapat membatalkan serta menghapuskan pahala puasa. Kita berharap semoga semua ibadah Ramadan yang sudah kita jalankan itu diridai dan dibalasi dengan balasan terbaik oleh Allah Swt.
Kemudian shalawat beriringan salam tak lupa kita kirimkan buat Nabi Besar kita, Nabi Muhammad Saw, yang berkat petunjuk dan teladan yang beliau contohkan, kita dapat menyempurnakan keislaman dan keberimanan kita hingga hari ini. Semoga semua kita yang hadir di tempat ini diakui sebagai umat beliau dan pada saatnya nanti akan mendapatkan syafaatnya, Amien Ya Rabbal ‘Alamin.!!
Kaum muslimin sidang jamaah shalat ‘ied hafizakumullah.!
Melalui mimbar ied ini, khatib ingin mengajak para jamaah umumnya dan diri khatib pribadi khususnya agar kita senantiasa meningkatkan rasa iman dan takwa kita kepada Allah Swt. Karena pada hakikatnya, bekal utama yang akan kita bawa menghadap Allah Swt nantinya tidak lebih dari dua hal tersebut saja. Allah Swt berfirman dalam Q.S. AlBaqarah ayat ke-197 yang berbunyi :
“Dan berbekallah kalian, karena sesungguhnya sebaik-baik perbekalan adalah ketakwaan (kepada Allah Swt).”
Selain itu patut juga untuk kita muhasabah pada hari ini, sudah sejauh mana nikmat yang Allah Swt berikan, kita gunakan untuk mengabdi dan beribadah kepada-Nya. Jangan sampai nikmat-nikmat Allah yang begitu banyaknya, justru kita gunakan untuk mendurhakai-Nya. Amat besar kemarahan Allah terhadap seorang hamba yang setiap kali nikmat Allah bertambah kepadanya, namun dia gunakan untuk berbagai macam kemaksiatan dan kekufuran. Semoga kita semua menjadi hamba-hamba Allah yang pandai menyukuri nikmat-nikmat-Nya, selalu istikamah dalam menjalankan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya.!!
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar wa lillah alhamd.!
Kaum muslimin jamaah shalat ied yang berbahagia.
Tahun ini merupakan tahun terberat yang dihadapi oleh bangsa dan negara kita. Karena seperti yang kita ketahui bersama, pada tahun ini bangsa kita telah menyelenggarakan sebuah pesta demokrasi lima tahunan serentak untuk memilih presiden dan para wakil rakyat yang nantinya akan mengelola negara ini. Ujian yang kita maksud di sini bukan dalam hal pelaksanaannya, namun dari potensi perpecahan yang disebabkan oleh saling hujat antara para pendukung paslon yang berlaga di pemilu tersebut.
Bahkan yang lebih parah dari itu, masing-masing pendukung tidak segan menyebut pihak yang berseberangan dengannya dengan sebutan-sebutan negatif yang tidak layak keluar dari mulut seorang yang mengaku sebagai muslim, seperti misalnya sebutan munafik, kafir, melabeli dengan nama hewan, dan sebagainya. Padahal agama kita sudah jelas-jelas melarang memanggil orang lain dengan panggilan buruk yang tidak disukainya. Allah Swt berfirman dalam Q.S. Al-Hujurat ayat ke-11 yang berbunyi:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah sebuah kaum (laki-laki) mencela kaum lainnya, karena boleh jadi mereka (yang dicela) lebih baik dari mereka yang mencela. Begitu juga perempuan terhadap perempuan yang lain, karena boleh jadi perempuan yang dicela lebih baik dari mereka yang mencela. Dan jangan suka mencela diri sendiri dan jangan juga memanggil dengan panggilan yang jelek, karena seburuk-buruk panggilan adalah panggilan “fasik” setelah beriman. Dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka tergolong sebagai orang-orang yang zalim.”
Begitu juga Nabi kita, Nabi Muhammad Saw dalam sebuah sabdanya yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya yang bersumber dari Abdullah ibn ‘Amr menegaskan bahwa,
“Muslim yang paling baik itu adalah seorang muslim yang orang-orang muslim lainnya selamat dari pengaruh buruk lidah dan tangannya.”
Kedua ayat dan hadis tersebut cukup menjadi bukti betapa Allah dan Rasul-Nya tidak menyukai adanya penghakiman secara sepihak dari seseorang kepada orang lain dengan alasan apapun, apalagi hanya sekedar perbedaan pandangan dalam hal keduniawian, pergaulan sehari-hari, ataupun politik seperti yang terjadi saat ini.
Khusus dalam persoalan yang terakhir ini, sudah seharusnya kita sebagai warga negara muslim Indonesia mencontoh nilai-nilai positif yang pernah dicontohkan oleh para ulama salaf dahulu dalam hal memilih pemimpin. Perbedaanperbedaan pandangan yang terjadi di antara mereka tidak lantas membuat persatuan dan kesatuan mereka menjadi rapuh ataupun bahkan hancur sama sekali, namun justru persatuan itu kembali mereka rajut setelah majlis musyawarah memutuskan siapa pemimpin mereka.
Sebut saja misalnya, proses pengangkatan pemimpin pertama umat Islam setelah wafatnya Rasulullah Saw. Para ahli sejarah muslim seperti Ibnu Ishak, Ibnu Hisyam, dan alThabari menceritakan bahwa pasca wafatnya Nabi Muhammad Saw, para sahabat Anshar berkumpul di Tsaqifah Bani Sa’idah untuk memusyawarahkan siapa tokoh yang akan menjadi pemimpin mereka setelah Nabi.
Mereka sepakat untuk mencalonkan Sa’ad ibn Ubadah, seorang tokoh dari suku Khazraj, sebagai pemimpin umat Islam setelah Nabi. Mendengarkan hal tersebut, beberapa orang dari kaum Muhajirin seperti Abu Bakar, Umar, Abu Ubaidah dan lain-lain segera menyusul dan menyampaikan sikap mereka untuk mengangkat pemimpin dari kalangan suku Quraisy.
Akan tetapi usulan tersebut ditentang keras oleh sebagian kaum Anshar, yang salah satu di antaranya oleh Hubab ibn Munzir dan bersikukuh untuk mengangkat pemimpin dari kalangan Anshar. Tiba-tiba di saat perdebatan mulai memanas, Abu Bakar tampil sembari mengajukan dua calon pemimpin dari suku Quraisy, yaitu Umar ibn al-Khattab dan Abu Ubaidah, namun sayang keduanya tidak bersedia dan menolak secara halus usulan Abu Bakar.
Melihat suasana yang semakin rumit, Umar ibn al-Khattab pun segera berinisiatif dan menegaskan bahwa tidak ada yang lebih berhak menjadi pemimpin kecuali orang yang pertama kali beriman kepada Nabi dan orang yang Nabi percaya kepadanya untuk menggantikan beliau menjadi imam shalat ketika beliau tengah terbaring sakit, yaitu Abu Bakar al-Shiddiq.
Secara spontan Umar pun membaiat Abu Bakar sebagai pemimpin umat Islam yang kemudian diikuti oleh beberapa sahabat lainnya secara berurutan, yaitu Basyir ibn Saad beserta para pengikutnya. Melihat kondisi tersebut dan untuk menghindari perselisihan dengan kaum Anshar yang awalnya telah mencalonkan Saad ibn Ubadah sebagai pemimpin, Abu Bakar segera mengambil sikap.
Beliau mencoba mendekati kaum Anshar dan melakukan pembagian tugas dan jabatan sembari berkata, “Nahnu alUmara’ wa Antum al-Wuzara’” (Kami pemimpin dan kalian sebagai para menterinya). Usulan tersebut diterima oleh kaum Anshar dengan lapang dada dan akhirnya bersedia membaiat Abu Bakar sebagai pemimpin seluruh umat Islam. Mulai saat itu, mulailah beliau digelari dengan “Khalifatu Rasulillah”, pengganti Rasulullah Saw.
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar wa lillah alhamd.!
Kaum muslimin jamaah shalat ied yang hafizakumullah.!
Dari sepenggal kisah tersebut, dapat kita pahami bahwa perbedaan pendapat dalam persoalan politik adalah sebuah hal yang lumrah dan biasa. Hal tersebut karena masingmasing golongan mempunyai tokoh terbaik yang pantas diusulkan sebagai pemimpin. Baik Saad ibn Ubadah maupun Abu Bakar al-Shiddiq adalah dua tokoh terbaik dari golongan sahabat yang mewakili kaum Anshar dan Muhajirin.
Namun meskipun demikian tidak mungkin keduanya bisa menjadi pemimpin umat Islam secara sekaligus, harus ada salah satunya yang dipilih dan disepakati untuk menjadi pemimpin tunggal, sementara yang lain sebagai menteri yang akan membantunya dalam penyempurnaan tugastugasnya. Sehingga pada akhirnya disepakatilah Abu Bakar sebagai pemimpin karena pengalaman dan kemampuan yang beliau miliki, sementara sahabat-sahabat yang lain dari golongan Anshar sebagai para menterinya.
Selain itu, pelajaran lain yang bisa kita petik dari peristiwa tersebut adalah sikap mau bermusyawarah untuk menemukan keputusan bersama demi kemaslahatan yang lebih besar. Bisa dibayangkan bagaimana rumitnya kondisi umat Islam kala itu andai masing-masing golongan tidak bisa menahan diri dalam mengunggulkan calon pemimpin usulannya.
Bisa saja Islam hanya akan tinggal nama saja kalau masingmasing pihak sibuk memperjuangkan kepentingan kelompoknya saja. Kita bersyukur mempunyai para pendahulu yang lebih mengutamakan kepentingan bersama ketimbang kepentingan pribadinya sebagai pemimpin. Siapapun pemimpin yang ada, asalkan mempunyai kecakapan dan mampu mengemban amanah yang dibebankan kepadanya, maka ia layak untuk dipatuhi dan didengarkan intruksinya.
“Siapapun pemimpin yang ada, asalkan mempunyai kecakapan dan mampu mengemban amanah yang dibebankan kepadanya, maka ia layak untuk dipatuhi dan didengarkan intruksinya.”
Namun tidak bisa dipungkiri juga bahwa sejarah kepemimpinan Islam pasca Abu Bakar tidak semulus dan selancar apa yang terjadi di masa tersebut. Sebut saja misalnya perselisihan yang sebenarnya bersifat politis terjadi antara Ali ibn Abi Thalib dengan Aisyah. Perselisihan tersebut mengakibatkan meletusnya perang Jamal pada tahun ke-35 hijriah.
Begitu juga dengan perselisihan yang terjadi antara Ali ibn Abi Thalib dengan Muawiyah ibn Abi Sufyan yang melatari terjadinya perperangan Shiffin pada tahun ke-37 hijriah. Kedua perselisihan itu merupakan bukti nyata kalau perbedaan pandangan politik yang berakibat fatal juga pernah terjadi di masa dahulu. Namun bukan berarti hal tersebut bisa dijadikan sebagai legitimasi untuk mengulang peristiwa tersebut di masa sekarang.
Prinsip yang harusnya dipakai dalam membaca berbagai peristiwa tersebut adalah menjadikan semua penyebab perpecahan itu sebagai pelajaran dan berupaya dengan sekuat tenaga untuk mencegah segala potensi yang bisa menyebabkan munculnya peristiwa serupa terulang kembali di masa sekarang yang pada akhirnya hanya akan menguras tenaga dan pikiran kita untuk hal-hal yang kontra-produktif.
Akan lebih baik jika masing-masing pihak bisa menjaga diri dan mengutamakan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi. Betapa indahnya hidup kalau masingmasing kita bisa menerima perbedaan dan bisa menghargai tata aturan yang berlaku, sehingga persatuan dan kesatuan umat sebagai tujuan utama politik Islam dapat tercapai.
Demikianlah khutbah singkat ini, semoga bermanfaat untuk kita bersama, terlebih bagi kami yang menyampaikan. Amin ya Rabbal ‘Alamin.
Khutbah Kedua
Kota Gorontalo – Khutbah Idul Fitri: Lewat Idul Fitri, Mari Kembali Mempererat Kesatuan Bangsa